Ku termenung di pojok pintu kamar. Sesekali keluar masuk, keluar masuk, begitu seterusnya hingga berjalan beberapa menit. Sekujur tubuhku gemetaran dan tak sanggup membayangkan apa yang akan menimpaku kelak. Secarik kertas di gengamanku bertuliskan angka 58, spontan membuatku semakin tak berdaya. Namun teringat pesan pak guru, besok harus segera di kumpulkan hasil laporan tanda tangan dari wali murid, ya mau bagaimana lagi aku harus menyiapkan mental melebihi menyiapkan senjata ketika hendak perang saat bertemu Ayah. “yah.. ini pak guru minta tanda tangan, sebagai bukti bahwa hasil ulangan bahasa indonesiaku harus diketahui orangtuanya.” Sambil gemetaran aku mencoba menata setiap kalimat yang ingin ku ucapkan kepada Ayah. “kenapa 58?” dalam benakku, aku berkata. “Tuhan, apakah begitu bodohnya aku sehingga untuk pelajaran yang begitu mudah saja aku tak mampu lolos dari angka 50?” Aku ingin sekali merasakan kebahagiaan, merasakan kasih sayang dari Ayah. Memang ketika di...