Ku termenung di pojok pintu kamar. Sesekali keluar masuk, keluar masuk, begitu seterusnya hingga berjalan beberapa menit. Sekujur tubuhku gemetaran dan tak sanggup membayangkan apa yang akan menimpaku kelak. Secarik kertas di gengamanku bertuliskan angka 58, spontan membuatku semakin tak berdaya. Namun teringat pesan pak guru, besok harus segera di kumpulkan hasil laporan tanda tangan dari wali murid, ya mau bagaimana lagi aku harus menyiapkan mental melebihi menyiapkan senjata ketika hendak perang saat bertemu Ayah.
“yah.. ini pak guru minta tanda tangan, sebagai bukti bahwa hasil ulangan bahasa indonesiaku harus diketahui orangtuanya.” Sambil gemetaran aku mencoba menata setiap kalimat yang ingin ku ucapkan kepada Ayah.
“kenapa 58?” dalam benakku, aku berkata.
“Tuhan, apakah begitu bodohnya aku sehingga untuk pelajaran yang begitu mudah saja aku tak mampu lolos dari angka 50?”
Aku ingin sekali merasakan kebahagiaan, merasakan kasih sayang dari Ayah. Memang ketika diriku semakin beranjak dewasa, aku tak pernah merasakan lembutnya cinta kasih dari Ayah. Sebenarnya bukan karena Ayah begitu jahat atau kasar kepadaku, namun karena mungkin aku tak seberuntung anak-anak seusiaku, yang selalu mendapat nilai bagus, dan mendapat predikat sebagai murid cerdas.
Harapan ingin berlari menuju dekapan Ayah dan menggenggam secarik kertas bertuliskan angak 100 masih ada, walau pada akhirnya itu mustahil.
Suatu hari, ada pembagian rapor. Dan itu tandanya, hasil belajar selama semester ini akan segera di bagikan sekaligus pengumuman kenaikan kelas. Yang aku ingat pada waktu itu ruangan begitu sesak oleh kerumunan murid dan para orang tua. Sebuah suasana yang begitu mencekam melibihi bertemu zombie. Aku datang bersama Ayahku, sesekali aku mencoba menghela napas panjang dan seiring denyut jantungku berdebar begitu kencang.
Dan tibalah saatnya, ketika Ayah pergi menemui wali kelasku. Aku hanya bisa menunggu dengan penuh tanda tanya besar.
Beberapa menit kemudian, aku tidak terlalu tahu persis berapa lama aku menunggu kedatangan Ayah sambil membawa sebuah kabar. Kabar yang belum ku ketahui secara pasti, dan tiba-tiba Ayah memelukku dengan erat.
Dalam hatiku, “Ayah…Ayah memelukku?” dan dekapan itu masih terus berlanjut hingga terasa seperti waktu berhenti sejenak.
“Ayah..ada apa? apa yang terjadi?” gumamku. Ayah masih saja terdiam, tanpa mengucap sepatah katapun.
Dan ke esokan harinya, aku duduk di teras belakang, sedikit samar di dalam ingatanku waktu itu apa yang tengah ku lakukan. Tiba-tiba Ayah datang menghampiriku, dan memelukku untuk kedua kalinya. Aku masih terus bergumam dan bergumam, apa sebenarnya yang terjadi. Kenapa ayah tiba-tiba tanpa ragu mendaratkan dekapan di tubuhku. Sampai sekarang, hingga tanganku mulai merangkai kata dalam tulisan ini aku masih belum menemukan jawaban itu. Tak kulihat Ayah lagi, tak ku rasakan dekapan dan pelukkan ayah lagi, terasa begitu cepat semua berlalu. Baru tersadarkan sebuah pesan kecil yang begitu bermakna, “Mba.. nanti tolong di jaga adek yaa !” setelah itu ayah pergi meninggalkanku bersama mobil yang di bawa paman dan ibuku. keesokan harinya Ayah pulang, namun bukan dengan mobil yang sama. Mobil itu putih bersih, seperti helai kain yang terbungkus rapi dalam balutan kesedihan.
Terkadang sesekali aku teringat dengan mimpi itu “Ketika Ayah Memelukku”, ungkapan itu seakan menjadi tanda tanya besar, apa sebenarnya pesan dari mimpi itu. Seumur hidupku aku sulit untuk menemukan moment bersama dengan penuh kasih layaknya ayah-anak. Jika pesan itu sebagai ungkapan terima kasih, sampai detik ini, aku merasa masih belum bisa membahagiakan ayah hingga beliau tiada. Bahkan lewat pesan terakhir sebelum ayah pergi, adalah ungkapan untuk menjaga adiku.
“Lantas apa arti dari pelukkan itu?”
Komentar
Posting Komentar